Senin, 28 Februari 2011

KHADIJAH

Sebagai istri, saya pribadi sering merasa “malu” tiap kali berkaca pada Khadijah. Kontribusi dan pengabdian saya terhadap suami sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan apa yang telah diabdikan Khadijah terhadap suaminya. Tetapi yang lebih memalukan, seringkali tuntutan saya terhadap suami jauh melebihi harapan-harapan Khadijah terhadap suaminya. She served the best without expecting too much in return! Satu-satunya “pamrih” yang diinginkannya adalah cinta Tuhannya dan Utusannya. Kelihatannya macam slogan yang gampang diucapkan ya? Tapi dijamin tidak gampang untuk menjalankannya. Try to stand on Khadijah’s shoes to know how difficult it is.
Marilah kita bayangkan mulai dari contoh yang paling mudah dulu. Seandainya kita seorang “konglomerat” yang menikah dengan seorang penjual kelontong di pasar, siapkah kita meninggalkan gaya hidup “borju” kita untuk menjalani kehidupan sederhana seorang istri penjual kelontong?
Atau contoh lain, mudahkah bagi kita menahan diri untuk tidak uring-uringan seandainya suami sering pergi berhari-hari untuk mengejar “idealisme”nya yang mungkin masih sulit kita pahami, dan meninggalkan kita sendirian mengurus anak dan membersihkan rumah?
Atau… mudahkah pula bagi kita untuk mengorbankan kesuksesan yang telah kita bangun dengan susah payah demi tugas suami yang mungkin tidak menawarkan “imbalan” yang memadai? It’s hard, apalagi jika kita merasa bahwa selama ini “karir” dan penghasilan kita jauh melebihi suami.
Khadijah adalah seorang pengusaha wanita yang sangat sukses dan terhormat di kalangan kaum Quraishy dengan kemampuan membaca pasar dan mengelola asset yang hebat. Walaupun dia masih tetap kaya pada masa-masa awal kehidupannya sebagai istri seorang pedagang kecil, dia rela untuk menjalani cara hidup yang sangat sederhana karena Muhammad SAW, suaminya, tidak ingin keluarganya hidup berlebihan pada saat banyak orang lain yang masih kekurangan. Tidak ada keluhan yang terucap dari bibirnya. Dia meyakini kemuliaan prinsip suaminya dan rela mengikutinya, walaupun dia harus meninggalkan semua kenyamanan yang pernah menghiasi kehidupannya sebelum itu.
Tak pula keluhan terucap ketika dia harus hidup bersama seorang suami yang sering pergi menyendiri ke Jabal Nur selama berhari-hari, meninggalkannya sendirian mengurusi anak-anaknya. Jangankan uring-uringan, Khadijah bahkan rela untuk menyiapkan makanan secara teratur dan mengantarkannya sendiri ke Jabal Nur! Jabal Nur adalah sebuah bukit batu cadas berpasir yang sangat sulit dan berbahaya untuk didaki; dan Khadijah telah mendakinya berulang kali sambil membawa makanan agar suaminya tidak kelaparan! Sepenuh hati dia berusaha “meringankan” beban suaminya yang saat itu sedang berusaha menemukan jawaban atas kegalauan spiritual dan kerinduannya yang dalam terhadap “Sesuatu” yang menjadi sumber dari segala kehidupan ini.
Tak terhitung juga berapa kekayaan Khadijah yang dia abdikan demi perjuangan suaminya menegakkan kalimat “laa ilaaha illallaah”. Sebagai istri seorang keturunan Hasyim, Khadijah bahkan kehilangan “segalanya” ketika kaum kafir Quraishy melakukan boikot kepada bani Hasyim dan bani Muthalib selama tiga tahun. Kekayaannya yang tersisa dia gunakan untuk membeli makanan secara diam-diam bagi para pengikut Rasulullah yang harus kelaparan karena mempertahankan iman mereka.
Walaupun dirinya seorang pengusaha, Khadijah tak menghitung pengorbanannya sebagai sebuah kerugian besar, karena dia yakin bahwa dia sedang melakukan jual-beli yang sangat menguntungkan dengan Sang Maha Kaya. Dia rela menukar semua kekayaan dan kesuksesannya dengan ridha Tuhannya.
Khadijah tidak hanya mengorbankan harta dan kesuksesannya saja. Jihad Muhammad SAW dihiasi dengan penolakan, penganiayaan, caci-maki, bahkan ancaman pembunuhan. Dan Khadijah tak pernah menjauh dari sisi suaminya dalam menapaki jalan terjal itu meski keselamatannya sendiri dan keluarganya menjadi taruhannya. Walaupun dia ikut menanggung “teror” mental maupun fisik dari musuh Muhammad, Khadijah pantang menampakkan kekuatiran dan ketakutan di wajahnya. Baginya, kegalauan di wajah bertentangan dengan tugasnya sebagai cahaya ketentraman bagi suaminya.
Lantas, apakah mengherankan kalau Muhammad SAW begitu mencintai dan menghormati istrinya ini. Beliau tak menikahi wanita lain selama bersama Khadijah. Sayangnya, hal ini sering “dilupakan” oleh para pengkritik kehidupan poligami Rasulullah.
Muhammad SAW pun begitu terpukul ketika “belahan jiwanya” ini wafat hanya beberapa saat setelah boikot Quraishy berakhir, pada tahun yang kemudian dikenal sebagai tahun ‘Aamul Huzni, tahun kesedihan Rasulullah SAW. Tampaknya, kelaparan dan beban psikologis selama masa boikot telah menggerogoti kesehatan wanita agung ini. Muhammad SAW mengurus sendiri jenazah Kesayangannya ini, dan mengantarkannya ke pembaringan terakhirnya di Mekkah dengan sebuah kalimat perpisahan: “Sebaik-baik wanita penghuni surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid”.
Ketika telah menikah dengan istri-istrinya yang lain sepeninggal Khadijah pun, tidak jarang Rasulullah SAW masih diliputi kenangan akan Khadijah yang terkadang terlontar dalam bentuk pujian-pujian. Dan hal ini sempat menimbulkan kecemburuan Aisyah: “Alangkah banyak yang kau ingat tentang si pipi merah itu, padahal engkau telah mendapatkan gantinya yang lebih baik dari dia.”
Wajah Muhammad SAW berubah merah padam mendengar protes itu. Dan biasanya hanya pada saat menerima wahyu saja wajah beliau akan menjadi semerah itu. Lalu beliau pun menjawab:
“Demi Allah, Allah belum menggantikannya dengan yang lebih baik dari dia. Dia telah beriman kepadaku ketika semua orang ingkar padaku, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakan, dia memberikan semua hartanya ketika orang-orang tak mau memberiku apa-apa, dan melaluinya Allah mengaruniakanku keturunan yang tidak diberikan oleh istri-istriku yang lain.” (HR Ahmad)
Khadijah ternyata tidak hanya menjadi istri yang paling dicintai Muhammad SAW. Sang Maha Agung dan Malaikat Jibril pun mencintai wanita mulia ini. Bahkan, melalui Jibril Allah telah menitipkan salamNya kepada Khadijah, Subhanallah!
“Wahai Rasulullah, inilah Khadijah, ia akan datang kepadamu dengan membawa tempat yang berisi makanan, lauk dan minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan salam kepadanya dari Tuhannya dan dariku.” (HR Bukhari & Muslim, dari Abu Hurairah)
Cinta Allah kepada wanita suci ini bahkan diwujudkanNya pula dengan sebuah rumah permata yang disediakan untuk Khadijah dalam surgaNya.
“Aku (Muhammad) diperintahkan untuk menyampaikan kabar gembira kepada Khadijah tentang sebuah rumah di surga dari permata dimana di dalamnya tiada keributan dan kepayahan.” (HR Ahmad, Abu Ya’la, ath-Thabrani, dari Abdullah bin Ja’far)
Betapa beruntungnya Khadijah mendapatkan cinta, salam, dan rumah permata di surga dari Tuhannya. Namun “keberuntungan” Khadijah ini bukan didapatnya dengan cuma-cuma; dia memperolehnya melalui perjuangan berat yang dilakukannya dengan ikhlas sampai akhir hayatnya. Hanya wanita hebat saja yang pantas diberi salam oleh Tuhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar