Senin, 16 September 2013

Islam Mendidik Para Wanita Agar Menjadi Sosok Muslimah yang Kuat dan Tangguh

Di dalam shirah Ibnu Hisyam terdapat sebuah kisah dari Ummu Sa’d bin Rabi’, ia bercerita bahwa; ‘Suatu hari aku menemui Ummu ‘Imarah, lalu aku bertanya kepadanya, “Bibi, ceritakan kepadaku tentang kabarmu pada waktu Perang Uhud.” Lalu ia berkata, “Pada suatu pagi, dengan membawa bejana tempat air minum, aku keluar  sambil memandangi apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang. Lalu sampailah aku ke hadapan Rasulullah saw yang waktu itu sedang berada di tengah-tengah para shahabat. Ketika itu kemenangan berada di pihak kaum Muslimin. Kemudian ketika kaum Muslimin mengalami kekalahan, aku berlari menuju  Rasulullah saw dan langsung turun ke medan pertempuran ikut melindungi Rasulullah saw dengan menggunakan pedang dan panah, sehinggaaku sempat terluka.”

Ummu Sa’d berkata, “Memang benar, di pundaknya aku melihat ada bekas luka yang berlubang.” Lalu aku bertanya kepadanya, “Lalu siapa yang berhasil melukaimu ?” Ia menjawab, “Qam’ah, Semoga Allah menghinakannya. Ketika orang-orang berlarian meninggalkan Rasulullah saw ia datang sambil berkata, “Tunjukkan kepadaku, di mana Muhammad, karena jika Muhammad selamat, maka celakalah aku.” Lalu aku , Mush’ab bin Umair dan beberapa  orang yang tetap bertahan bersama Rasulullah saw mencoba untuk menghadangnya, lalu ia berhasil memukulku, namun aku juga berhasil memukulnya beberapa kali, akan tetapi sayang waktu itu ia mengenakan dua tameng.”

Contoh kisah di atas memberikan bukti kepada kita bagaimana Islam mampu mendidik dan menciptakan sosok para wanita yang kuat dan tangguh. Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan sebagian shahabat mengajarkan kepada anak-anak perempuan tentang tata cara memotong hewan.

Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan bahwa dia memerintahkan anak-anak perempuannya untuk memotong hewan kurban mereka sendiri dengan cara menginjak sisi tubuh hewan yang hendak disembelih, dan membaca takbir serta membaca basmalah ketika menyembelih. (HR Razin dan riwayat ini dikomentari oleh Imam Bukhari)

Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Ishaq, ia berkata, “Pada suatu kejadian, Shafiyah binti Abdul Muthalib sedang berada di tempat persembunyian bersama Hasan bin Tsabit yang waktu itu sedang sakit. Shafiyah bercerita, “Lalu ada salah seorang Yahudi lewat mengelilingi tempat di manakami bersembunyi.Padahal waktu itu Bani Quraidhah sedang memerangi kaum Muslimin dan merusak perjanjian damai yang ditanda tangani antara mereka dan Rasulullah saw.

Waktu itu tidak ada seorang pun yang dapat membantu melindungi kami, karena waktu itu Rasulullah saw dan jumlah kaum Muslimin yang terlalu sedikit tidak memungkinkan untuk datang kepada kami. Lalu aku berkata kepada Hasan bin Tsabit, “Wahai Hasan, kamu lihat orang Yahudi tersebut selalu mengelilingi tempat persembunyian kita, dan aku takut jika ia mengetahui keberadaan kita dan memberitahukannya kepada teman-temannya yang lain, padahal sekarang Rasulullah saw bersama kaum Muslimin sedang sibuk, oleh karena itu, melompatlah dan bunuh orang Yahudi tersebut.” Namun karena waktu itu ia sedang sakit, Hasan bin Tsabit meminta maaf tidak dapat melakukan hal tersebut. Shafiyah berkata, “Ketika ia minta maaf tidak dapat melakukan hal tersebut, maka aku langsung mengencangkan pakaianku, kemudian aku mengambil sebuah tongkat, lalu aku turun dari tempat persembunyianku dan langsung memukul orang Yahudi tersebut hingga tewas.”

Kisah di atas, walaupun sanadnya lemah, namun tidak ada salahnya jika disebutkan di sini sebagai dalil yang menguatkan pembahasan ini.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw mendidik Fathimah agar terbiasa dengan hal-hal yang berbau kekerasan, yaitu dengan cara menyuruhnya membersihkan pedang Rasulullah saw yang berlumuran darah musuh.

Ibnu Abbas r.a meriwayatkan dan berkata, “Ketika Rasulullah saw kembali dari medan perang, beliau memberikan pedangnya kepada putrinya, Fathimah r.a sambil berkata, “Putriku, bersihkanlah bekas darah yang menempel di pedangku ini.” Lalu Ali bin Abi Thalib juga menyerahkan pedangnya kepada istrinya, Fathimah, seraya berkata, “Fathimah, tolong bersihkan juga pedangku ini, sungguh pada hari ini aku maju ke medan perang dengan penuh keberanian dan semangat yang membara.” Lalu Rasulullah saw bersabda, “Jika hari ini kamu maju ke medan perang dengan penuh semangat yang membara, maka hal yang sama juga dilakukan oleh Sahl bin Hunaif dan Samak bin Kharsyah Abnu Dajanah.” (HR al-Hakim)

Dan masih banyak lagi kisah-kisah serupa yang mengetengahkan kepahlawanan dan keberanian para wanita muslimah. Mereka ikut pergi berjihad untuk mengobati tentara Islam yang terluka, memberi pasokan minum dan bahkan ikut terjun langsung ke tengah-tengah medan pertempuran, tanpa sedikit pun takut akan kilauan pedang, tombak dan panah yangberseliweran,tidak gentar melihat kondisi para tentara yang terbunuh.

Kisah-kisah kepahlawanan dan ketegaran para wanita muslimah seperti ini cukup kiranya menjadi bahan pelajaran bagi generasi –generasi selanjutnya, semisal Ummu Sulaim yang dengan tabah dan tegar memandikan putranya,Umair, mengkafani dan meletakkannya di samping rumah. Sampai saatnya sang suami, Abu Thalhah datang, ia pun tetap tabah dan bersabar mengharap dari semua cobaan tersebut pahala dari-Nya. Bahkan, ia memang sebelumnya sudah bersiap-siap menerima semua cobaan tersebut. Kemudian setelah sang suami menyelesaikan pekerjaannya dan suasana pun benar-benar tenang, maka Ummu Sulaim dengan cara yang baik, halus dan bijaksana mengabarkan kepada sang suami, bahwa Dzat Yang menitipkan amanah kepada mereka berdua telah mengambil kembali amanah tersebut. Mendengar penjelasan sang istri, Abu Thalhah sadar bahwa anaknya telah meninggal dunia. (HR Bukhari)

Ini adalah buah yang dapat dipetik dari cara Islam mendidik para wanita muslimah agar menjadi sosok-sosok wanita yang kuat dan tangguh.Sosok wanita yang tidak bersedih atas syahidnya sang anak, bahkan mendorong dan memberikan semangat kepadanya untu meraih syahid, seperti yang dilakukan oleh Asma’ binti Abu Bakar terhadap putranya, Abdullah bin Zubair.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Abdullah ibnuz-Zubair masuk menemui sang ibu, lalu berkata kepadanya, “Bagaimana keadaanmu ibu ?” Sang ibu menjawab, “Ibu sakit.”Abdullah berkata, “Kematian dapat membawa ibu keluar dari derita ini dan dapat beristirahat.” Sang ibu berkata, “Anakku, kamu mungkin senang jika aku mati, oleh karena itu kamu mengharapkannya. Anakku, jangan lakukan itu, demi Allah aku tidak ingin mati sebelum aku menyaksikan akhir dari perjuanganmu ini. Ada kalanya kamu mati terbunuh , maka ibu ikhlas dan mengharapkan pahala dari-Nya. Dan ada kalanya kamu mendapatkan kemenangan, mka hati ibu dapat ikut merasakan kebahagiaan. Anakku, ibu pesan, jangan pernah menerima tawaran yang tidak kamu setujui  hanya karena takut mati. “ Pada riwayat lain, Abdullah berkata, “Ibu, aku takut jika mereka mencincang tubuhku.” Sang ibu berkata, “Apakah kambing yang telah disembelih merasa sakit ketika dikuliti ?”

Sumber : Buku “Tarbiyyatul Banaat fil Islaam.” Penulis : Abdul Mun’im Ibrahim Penerbit : Maktabah Awlaad Syekh lit-Turaats. 1423 H/2002 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar