Minggu, 23 Januari 2011

20 ciri wanita sholehah (8)

Kufu' dalam Beragama------------------------

Rasulullah SAW bersabda dalam Hadits-Hadits berikut:

"Wahai Bani Bayadhah, kawinkanlah (perempuan-perempuan kamu) dengan Abu
Hind; dan kawinlah kamu dengan (perempuan-perempuan)nya." (H.R. Abu Dawud)

"Orang-orang Arab satu dengan lainnya adalah kufu'. Bekas budak satu dengan
lainnya adalah kufu' pula." (H.R. Bazar)

"Sesungguhnya Allah memuliakan Kinanah di atas Bani Isma'il dan memuliakan
Quraisy di atas Kinanah dan memuliakan Bani Hasyim di atas Quraisy dan
memuliakan aku di atas Bani Hasyim...Jadi, akulah yang terbaik di atas yang
terbaik." (H.R. Muslim)

Penjelasan:

Kata kufu' artinya sepadan atau setara. Dalam pengertian adat-istiadat,
kufu' ialah kedudukan setara antara calon suami dengan calon istri, baik
dalam urusan agama, keturunan, nasab, maupun kedudukan sosial dan ekonomi.
Bila calon pasangan dalam hal-hal tersebut setara, maka mereka disebut
kufu'.

Hadits-hadits di atas memberikan penjelasan kufu' dalam pandangan syari'at
Islam. Hadits pertama menjelaskan bahwa Rasulullah memerintahkan Bani
Bayadhah untuk mengawinkan anak-anak perempuannya dengan laki-laki dari
keturunan Abu Hind. Klen Abu Hind ini dikenal sebagai pengrajin. Profesi
pengrajin di lingkungan Arab dipandang rendah sehingga keturunan mereka
dinilai tidak kufu' dengan keturunan Bani Bayadhah.

Hadits kedua menjelaskan bahwa semua suku Arab kufu' sehingga tidak alasan
bagi suatu suku tertentu merasa lebih tinggi daripada suku lain.

Hadits ketiga menjelaskan bahwa suku yang paling mulia dilingkungan bangsa
Arab adalah Quraisy, sedangkan klen yang paling mulia di lingkungan suku
Quraisy adalah Bani Hasyim dan warga Bani Hasyim yang paling mulia adalah
Nabi Muhammad SAW.

Hadits ketiga ini tidak menunjukkan adanya pembenaran bahwa suku selain
Quraisy tidak kufu' dengan suku Quraisy, atau klen selain Bani Hasyim
tidak kufu' dengan klen Bani Hasyim, sehingga antara laki-laki dan
perempuan yang berbeda suku atau klen tidak boleh menikah. Oleh karena itu,
tidak ada pembenaran bagi mereka untuk menolak kawin dengan suku atau klen
mana saja dengan alasan status sosialnya tidak kufu'.

Bila perkawinan antar klen atau suku yang tidak kufu' dilarang, tentu saja
tidak akan ada laki-laki yang dipandang kufu' menjadi suami putri-putri
Rasulullah, sebab Rasulullah SAW adalah orang yang paling mulia di
lingkungan klen Bani Hasyim. Kenyataannya, putri Rasulullah diperistri oleh
laki-laki yang klen atau keluarganya lebih rendah . Ummu Kultsum contohnya,
diperistri oleh 'Utsman bin 'Affan yang klennya lebih rendah daripada Bani
Hasyim, dan Fathimah diperisteri oleh 'Ali yang keluarganya lebih rendah
daripada keluarga Rasulullah SAW. Hal ini membuktikan bahwa anjuran agar
mencari pasangan yang kufu' maksudnya bukanlah kufu' dalam pengertian
nasab, kedudukan sosial ekonomi, suku atau keluarga, melainkan kufu' dalam
beragama.

Mengapa hanya agama yang menjadi tolok ukur kufu' untuk memilih istri?
Karena agama merupakan bekal utama yang melandasi kemampuan dan tanggung
jawab seorang perempuan untuk menjadi istri yang shalihah.

Kufu' dalam beragama ini ialah kualitas akhlaq dan ketaatan beragama calon
pasangan benar-benar setara. Apabila suami lebih baik, sedang istri kurang,
keduanya dikatakan kurang kufu'. Sebaliknya, jika istri lebih baik, ia
dikatakan tidak kufu' sebab suami dituntut memiliki kualitas lebih baik
atau setidak-tidaknya setara.

Islam menganjurkan memilih istri yang kufu' dalam beragama agar kelak
tercipta suasana sakinah dan mawaddah dalam hidup berumah tangga. Bila
antara suami istri terdapat perbedaan-perbedaan mencolok dalam bidang
akhlaq dan ibadah, apalagi istri jauh lebih rendah daripada suami, hal ini
semacam ini akan menghambat upaya menciptakan rumah tangga yang dipenuhi
kemesraan, kebahagiaan, dan penuh tanggung jawab kepada Allah. Demikianlah,
karena istri yang tidak kufu' memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai
baik buruk suatu masalah sehingga dalam rumah tangga muncul dua norma yang
bisa berbeda. Hal ini sangat berbahaya bagi pembinaan akhlaq suami istri
dan anak-anaknya. Bukanlah tujuan setiap orang membina rumah tangga adalah
untuk memperoleh kebahagiaan sebesar-besarnya di dunia dan keselamatan di
akhirat kelak? Kalau tujuan semacam ini tidak dapat diwujudkan, yang akan
terjadi adalah perselisihan yang menyebabkan perderitaan.

Untuk mengukur kufu' atau tidaknya calon istri, perlu diadakan pengamatan
dan penelitian seksama.
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh, antara lain :

1. Menanyakan akhlaq dan ibadah perempuan tersebut kepada teman-teman
dekatnya atau tetangga dekatnya yang adil dan jujur dalam menilai orang.

2. Mengamati akhlaq dan ibadah keluarga perempuan yang bersangkutan. Bila
keluarganya ahli ibadah dan baik akhlaqnya, kemungkinan besar akhlaq
perempuan tersebut seperti keluarganya.

Adapun kufu' dalam bidang lain, seperti tingkat pendidikan, sosial, ekonomi
dan lain-lain bukan merupkan masalah pokok yang dapat menghalangi upaya
penciptaan rumah tangga yang sakinah dan mawaddah. Masalah-masalah semacam
itu dapat diatasi dengan cara melakukan peningkatan secara bertahap dari
pihak yang bersangkutan.

Istri yang pendidikannya jauh lebih rendah daripada suami, misalnya. Tetapi
memiliki kecerdasan yang cukup untuk menambah ilmunya, baik secara otodidak
maupun melalui kursus-kursus, dapat mengimbangi kedudukan suami. Begitu
pula istri yang berasal dari kalangan ekonomi rendah tetapi memiliki
pendidikan yang cukup, kedudukannya otomatis akan terangkat sehingga
kedudukannya setara dengan suaminya. Begitu juga dalam hal kedudukan sosial
dan lainnya, istri dapat mencapai kesetaraan selama suami mau menerima dan
mengusahakan peningkatan kualitas dirinya.

Akan tetapi, berbeda sekali bila calon istri akhlaqnya rendah dan
perilakunya dalam beragama rusak. Perbaikan dan peningkatan dalam hal ini
sangat berat sebab untuk mengubah akhlaq yang buruk menjadi baik bukanlah
pekerjaan yang mudah dilakukan, bahkan dapat mempengaruhi yang baik menjadi
rusak. Itulah sebabnya Rasulullah SAW, juga para ulama mengingatkan agar
laki-laki yang hendak menikah benar-benar memperhatikan masalah kualitas
agama calon istrinya.

Jadi, walaupun masalah kufu' di luar aspek agama tidak menjadi tuntutan
pokok, patut juga kita perhatikan hal tersebut dengan baik agar kita lebih
mudah menciptakan keluarga yang bahagia, penuh ketenangan dan sejahtera.
Kita sebaiknya berusaha untuk mendapatkan pasangan yang kufu' dalam seluruh
aspek mencakup akhlaq, ibadah, pendidikan, kedudukan sosial, ekonomi, dan
latar belakang kultur. Semakin banyak persamaan antara calon pasangan, akan
semakin mudah kita membina kesatuan dalam keluarga. Inilah yang harus kita
usahakan agar tujuan kita mewujudkan rumah tangga yang penuh keberkahan,
kebahagiaan dan ketenangan tercapai.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar